Kamis, 14 Agustus 2025

Teduh yang Tak Luruh

Sering kali aku melihatmu dalam setiap kebetulan yang tak pernah kuminta. Kau muncul tiba-tiba di keramaian, di jeda langkah, di sela-sela waktu yang paling tak kuduga. Namun setiap kali itu terjadi, kita seolah menjadi orang asing. Tak ada sapaan, tak ada senyum. Wajahmu tetap seperti dulu, tapi tak lagi bicara. Hanya mata yang sesekali mencuri pandang, lalu kembali diam.

Tapi dari semua yang berubah, sorot matamu tetap sama. Teduh, tak banyak bicara, namun penuh isyarat yang tak pernah bisa kupahami sepenuhnya. Dan entah bagaimana, aku selalu mengenal keteduhan itu. Ia seperti rumah yang tak lagi bisa aku datangi, tapi masih kukenang letaknya. Aku merindukannya, tapi lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan namamu, apalagi mengulang kisah yang pernah kita simpan rapat.

Empat belas tahun telah berlalu. Waktu berjalan dengan langkahnya sendiri, namun rasa yang pernah tumbuh itu tetap tinggal di tempat yang sama. Tidak bertambah, tidak pula hilang, hanya menetap dalam diam. Aku tidak pernah benar-benar pergi dari perasaan itu. Di balik hari-hariku yang tampak tenang, aku masih menyimpan rasa. Bukan untuk dikenang secara megah, tapi cukup untuk kubawa sebagai bagian dari siapa diriku sekarang.

Kadang aku bertanya pelan dalam hati, adakah jejak rasa yang masih kau simpan diam-diam seperti aku menyimpannya selama ini? Ataukah segalanya telah luruh di langkahmu yang tak lagi menoleh ke belakang? Aku tak tahu, dan mungkin tak perlu tahu. Karena bagiku, menjaga perasaan ini bukan soal menanti balasan, melainkan tentang menerima bahwa tidak semua yang tinggal di hati harus menjadi milik. Ada ketenangan dalam mencintai dari jauh, dalam menyimpan rasa tanpa meminta apa-apa.

Dan bila suatu hari semesta membiarkan kita kembali bertemu dengan cara yang berbeda, aku tak akan meminta penjelasan. Tak akan memintamu kembali, atau mengulang yang pernah ada. Cukup tahu bahwa selama ini, aku tidak pernah benar-benar berhenti. Aku hanya diam, tetap menyimpan rasa dalam hati yang sudah belajar tenang, tapi belum pernah benar-benar lupa.

Rabu, 09 Juli 2025

Aku yang Kalian Bentuk

Mereka tak pernah benar-benar tahu, bahwa di balik deretan angka yang tampak gemilang, tersimpan ketakutan yang nyaris tak bersuara. Terkadang sesorang yang nilainya paling tinggi itu, bukanlah yang paling percaya diri, melainkan yang paling gemetar jika harus jatuh. Bukan karena takut disaingi, bukan pula karena ingin selalu di puncak. Tapi ia hanya butuh sesuatu untuk digenggam, agar hatinya tak terombang-ambing oleh rasa kurang dan tak diinginkan.

Di balik setiap senyum yang menyambut lembar hasil ujian, ada dadaku yang sesak menanggung harapan. Aku tahu, bahwa pujian sering kali datang hanya ketika angka-angka itu membubung tinggi. Maka, aku belajar mati-matian, bukan semata demi ilmu, tapi demi secuil pengakuan, bahwa diriku berharga, bahwa aku cukup. Aku menggantungkan harga diriku pada peringkat, karena di sanalah aku merasa dilihat.

Namun aku bukanlah mesin pencetak angka. Bukan deretan rumus yang harus selalu tepat, atau grafik yang tak boleh turun. Aku adalah jiwa muda yang masih mencari bentuk, masih belajar mengenal diri, dan mencoba berdamai dengan luka-luka kecil yang tak tampak oleh mata. Jadi jangan ukur aku hanya dari nilai, karena tak semua pencapaian bisa dihitung dengan angka.

Aku hanya ingin diterima, dengan atau tanpa piala di tanganku. Aku ingin didengar, bahkan saat tak sedang menjawab soal. Aku ingin dicintai, bukan karena sempurna, tapi karena aku sedang tumbuh. Maka, sebelum kalian menepuk pundakku karena nilaiku tinggi, bertanyalah lebih dulu: "Apa yang kau takutkan?" karena mungkin, di balik nilai itu, ada ketakutan yang menjerat lebih erat dari yang bisa kalian bayangkan.

Sering kali aku merasa lelah, bukan karena pelajaran yang sulit atau malam-malam tanpa tidur, tapi karena topeng yang harus terus kupakai. Aku berpura-pura kuat di hadapan mereka yang memujiku, seolah segalanya baik-baik saja. Padahal di dalam diriku, ada suara kecil yang terus bertanya: “Jika suatu hari aku tak mampu lagi menjadi yang tertinggi, masihkah kalian memandangku dengan cara yang sama?” Aku bukan takut kehilangan posisi, tapi aku takut kehilangan cinta yang datang bersyarat.

Di dunia yang ramai menilai dan cepat menghakimi ini, aku hanya ingin satu tempat yang tenang, tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa harus sempurna. Aku ingin merayakan pencapaianku tanpa rasa cemas, dan menangis tanpa harus bersembunyi. Karena aku bukan sekadar angka di selembar kertas, aku adalah hati yang ingin dimengerti, dan jiwa yang berharap bisa tumbuh dengan utuh, meski kadang tak lagi di puncak.

Segala hal yang kalian tekankan padaku, tentang aku yang harus selalu bisa, harus selalu hebat, dan harus selalu benar. Tanpa kalian sadari, perlahan itu semua menjelma jadi suara yang kutanam dalam diriku sendiri. Aku tumbuh menjadi orang yang keras pada dirinya sendiri, yang tak memberi ruang untuk gagal, bahkan untuk lelah. Aku menekan diriku habis-habisan demi menjadi sempurna, seolah cinta dan pengakuan hanya datang jika aku tak pernah jatuh. Aku memaksa diriku menjadi yang tertinggi, bukan karena aku ingin, tapi karena aku takut, takut kehilangan wajah di mata kalian. Hingga akhirnya, aku menjadikan diriku sendiri sebagai obsesi yang melelahkan: harus selalu berhasil, harus selalu mengesankan, harus selalu baik di mata semua orang, bahkan ketika hatiku sendiri mulai retak pelan-pelan.

Dan jika suatu saat aku tak lagi berada di barisan terdepan, bukan berarti aku berhenti berjuang. Mungkin aku hanya sedang ingin bernapas tanpa bayang-bayang angka, tanpa harus terus membuktikan diri. Biarkan aku diam sejenak, menepi dari sorot harapan yang terlalu tajam. Sungguh, aku tak pernah ingin menjadi yang terbaik di mata semua orang, aku hanya ingin merasa cukup di mataku sendiri. Harus berapa pencapaian lagi agar aku bisa diakui tanpa terus belajar dan berlari tanpa henti oleh kalian, sosok yang paling aku harapkan peluknya, tapi justru paling sering membuatku merasa belum pernah cukup?



Senin, 07 Juli 2025

Peluk yang Terlupa

Kadang aku bertanya dalam hati, kenapa harus aku? Kenapa beban seberat ini dipasrahkan pada seseorang yang bahkan belum selesai memahami dirinya sendiri? Di pundakku, langit seakan menitipkan segala beban bumi. Tugas yang tak kunjung habis, harapan yang tak pernah reda. Aku berjalan, meski langkah terasa remuk, setiap senyum yang kupasang adalah topeng dari luka-luka yang kututup rapat dalam diam. Menjadi yang pertama, bukanlah kehormatan yang kupilih, melainkan peran yang disematkan tanpa tanya.

Ada banyak hal yang tak pernah benar-benar selesai tumbuh dalam diriku, seperti masa kecil yang tergantikan oleh tanggung jawab, atau kesedihan yang harus segera dibungkam karena bukan waktunya bersedih. Terkadang aku ingin memeluk diriku sendiri, menenangkan dengan kata-kata yang tak pernah sempat kuucapkan. Tetapi dunia terlalu sibuk menggantungkan terlalu banyak harapan, hingga aku sendiripun lupa, kalau aku juga ingin dipeluk, didengar, dan dimengerti.

Lewat tulisan ini, aku hanya ingin melupakan sedikit beban. Karena aku tahu, setiap orang menyimpan beban dan masalah hidupnya sendiri, dan mungkin beban mereka jauh lebih besar dari apa yang selama ini aku keluhkan. Karenanya aku memilih diam, bukan karena tak ingin berbagi, tapi karena aku menemukan ketenangan di sana. Dalam sunyi, aku belajar menerima. Dalam diam, aku mencoba berdamai dengan apa pun yang mengguncang di dalam dada.

Malam-malam terasa panjang, saat pikiran menjadi labirin gelap dan tubuh tak lagi ingin berjuang. Rasanya ingin menyerah saja, lepas dari semua tanggung jawab, dari segala peran yang menyesakkan. Tapi entah mengapa, aku tetap berdiri. Barangkali bukan karena kuat, melainkan karena tak ada pilihan lain selain bertahan. Dan jika dunia bertanya kenapa aku terus berjalan, mungkin jawabannya sederhana: karena aku belum tahu caranya berhenti tanpa mengecewakan.



Rabu, 18 Juni 2025

Peran Tanpa Tanya

Di balik kalimat anak pertama yang terdengar sederhana, tersembunyi peran sunyi yang tak pernah kupilih. Sejak kecil, aku diajari menjadi yang paling kuat, paling paham, dan paling bisa diandalkan, seolah tangisku harus lebih cepat kering dari adikku. Tak ada ruang untuk ragu, apalagi salah, semua langkah harus tampak pasti, meski dalam hati aku masih tersesat mencari arah. Kadang aku bertanya, sejak kapan cinta dalam keluarga berubah menjadi beban yang disamarkan sebagai bentuk harapan?

Aku lahir lebih dulu, tapi bukan berarti harus tahu segalanya. Harapan yang tak kupilih dipanggulkan di pundak, dengan gelar “panutan” yang tak sempat kutolak. Aku dijadikan contoh, dijadikan jalan, bahkan dijadikan titian harapan agar keluarga merasa cukup dan bahagia. Tapi tak ada yang tahu, aku mulai benci melihat tumpukan pelajaran yang sama sekali bukan hal yang kugemari. Hari-hariku penuh tuntutan, seolah gagal bukan hakku, seolah ingin menyerah adalah bentuk pengkhianatan.

Ya, semua keinginanku terpenuhi, makan cukup, sekolah bagus, pakaian rapi. Lantas, kenapa aku harus mengeluh akan takdirku? Bukankah mereka wajar menuntutku, karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhanku? Lagi-lagi, aku yang salah. Salah karena merasa lelah. Salah karena ingin memilih. Salah karena ingin jadi anak biasa yang tak harus selalu kuat.

Minggu, 08 Juni 2025

Sampai di Persimpangan itu.

Entah bagimu membekas atau tidak,
namun bagiku, hidup yang pernah sempat ditemani olehmu adalah bagian paling indah dari waktu yang pernah aku miliki. Ada harapan yang dulu tumbuh pelan-pelan di sela tawa dan cerita kita yang sederhana, tapi hangat. Aku masih ingat bagaimana segalanya terasa lebih ringan saat ada kamu. Seolah dunia tak lagi sesepi biasanya.

Kita pernah berjalan berdampingan, meski tanpa janji, menjadi rumah sementara satu sama lain meski tanpa tahu kapan akan runtuh. Dan ketika akhirnya semuanya perlahan menjauh, aku tidak bisa berpura-pura biasa saja. Ada kehilangan yang tak terlihat, tapi terasa. Ada ruang yang tiba-tiba kosong, yang dulu pernah kamu isi dengan kehadiranmu.

Mungkin memang tidak semua pertemuan ditakdirkan untuk menetap. Beberapa hadir hanya untuk mengajarkan arti cukup, dan bagaimana caranya melepaskan tanpa membenci. Kita berakhir bukan karena tak saling peduli,
tapi karena semesta tahu, kadang cinta pun tak cukup untuk membuat dua orang bertahan. Kita menjadi asing bukan karena kita ingin, tapi karena hidup memaksa kita untuk belajar merelakan, meski hati belum benar-benar siap. Aku senang pernah menemukanmu di kehidupan yang seluas ini. Satu dari milyaran kemungkinan. Satu dari sekian banyak cerita yang bisa terjadi, tapi ternyata sempat menjadi milikku walau sebentar.

Kamu adalah bukti bahwa tidak semua hal indah harus dimiliki selamanya. Dan itu tidak apa-apa. Meskipun akhirnya kita tidak berjalan berdampingan, meskipun langkahmu menjauh dari langkahku, aku tetap bersyukur pernah berjalan bersamamu, walau hanya sampai persimpangan itu. Hidup harus terus berjalan, kan? Mau tak mau, suka tak suka.
Aku dengan jalanku, dan kamu dengan jalanmu.

Mungkin suatu hari nanti kita akan saling mengenang dari kejauhan dalam diam, tanpa pesan, tanpa lagi berharap untuk kembali.
Hanya sekadar mengenang, bahwa kita pernah menjadi sesuatu. Dan itu sudah cukup.

Sabtu, 24 Mei 2025

bolehkah aku gila sesaat?

diantara permainan dunia. jatuh cinta denganmu adalah permainan paling beresiko namun paling berani aku ambil. disela-sela waktu yang sibuk, aku masih memiliki waktu untuk menjadi gila karena memikirkanmu.

kita selalu punya batas waktu, namun saat ku tertunduk membelaimu semuanya menjadi tidak terbatas. jika mencintaimu adalah kebodohan maka biarlah aku menjadi bodoh dari segala hal yang kulakukan, agar tidak ada jawaban yang benar selain aku mencintaimu.

sebab aku berhutang banyak pada ketulusanmu, pada jiwamu, pada sepasang mata yang selalu mengerti aku.

pahamilah bahwa cintaku tidak pernah sembarangan. seandainya waktu adalah kesunyian maka aku akan berjalan tanpa rasa takut jika diujung sunyi aku menemukanmu.

karena itu aku tidak ingin ditamatkan dalam setiap perjalanan hidupmu.

selama aku ada, kamu tidak akan pernah kehilangan orang yang rela menjual jiwanya, menaruhkan hidupnya, menampar orang-orang yang menghakimi mu. selama aku ada, kamu tidak akan kehilangan orang yang mencintaimu lebih dari apapun. selama aku ada, kamu selalu punya tempat pulang.

maka cobalah cari diriku pada orang lain, jika kamu tidak gila maka cintaku keliru.

Kamis, 06 Maret 2025

Luka ku

 Berulang kali, tiap perjalanan pulang, aku sendirian menembus gelapnya malam. Melihat malam yang pada akhirnya sepi, padahal jalanan ini yang paling ramai saat siang. Lalu aku merasa bahwa aku akan sesepi malam, walau kini seramai siang, pada akhirnya kita akan sendiri. Tak kusangka secepat itu pikiranku menjadi kenyataan. Aku melihat diriku semakin hari, semakin tak menemui siang, sesepi malam setiap harinya. Orang lain lalu lalang, tapi aku sendirian, aku tak menemukan wajah- wajah yang kusimpan kemarin, aku tak bisa berpura- pura lagi, lidahku keluh, aku tak bisa menyuarakan apa yang aku rasakan padahal hatiku merintih keperihan. Kekacauan ini, semakin menarikku pada kegelapan, semua jenis permasalahan hidup seakan- akan tak ada hentinya memukul tubuh dan jiwaku. Kalau kau pikir aku tak mencoba berdo'a, kau salah, orang yang kehilangan arah ini berdo'a tanpa henti, sembari menyalahkan takdir yang begitu berantakan. Namun tak pernah ada siapapun yang membantuku, entah kemana harus kubawa ceritaku, bahkan dulu kupikir sujudku tak pernah menolongku, sampai aku sadar, seluruh lukaku ini yang menyelamatkanku dari dunia gelap, bersama orang- orang yang salah, rasa asing dari wajah- wajah yang tak kutemukan itu adalah jalan untuk menemukan diriku sendiri, bersamaan itu, jantungku berhenti berdetak untuk sesaat, aku melihat cahaya yang seolah mampu menyinari jalan keluarku. 

Teduh yang Tak Luruh

Sering kali aku melihatmu dalam setiap kebetulan yang tak pernah kuminta. Kau muncul tiba-tiba di keramaian, di jeda langkah, di sela-sela w...