Di balik kalimat anak pertama yang terdengar sederhana, tersembunyi peran sunyi yang tak pernah kupilih. Sejak kecil, aku diajari menjadi yang paling kuat, paling paham, dan paling bisa diandalkan, seolah tangisku harus lebih cepat kering dari adikku. Tak ada ruang untuk ragu, apalagi salah, semua langkah harus tampak pasti, meski dalam hati aku masih tersesat mencari arah. Kadang aku bertanya, sejak kapan cinta dalam keluarga berubah menjadi beban yang disamarkan sebagai bentuk harapan?
Aku lahir lebih dulu, tapi bukan berarti harus tahu segalanya. Harapan yang tak kupilih dipanggulkan di pundak, dengan gelar “panutan” yang tak sempat kutolak. Aku dijadikan contoh, dijadikan jalan, bahkan dijadikan titian harapan agar keluarga merasa cukup dan bahagia. Tapi tak ada yang tahu, aku mulai benci melihat tumpukan pelajaran yang sama sekali bukan hal yang kugemari. Hari-hariku penuh tuntutan, seolah gagal bukan hakku, seolah ingin menyerah adalah bentuk pengkhianatan.
Ya, semua keinginanku terpenuhi, makan cukup, sekolah bagus, pakaian rapi. Lantas, kenapa aku harus mengeluh akan takdirku? Bukankah mereka wajar menuntutku, karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhanku? Lagi-lagi, aku yang salah. Salah karena merasa lelah. Salah karena ingin memilih. Salah karena ingin jadi anak biasa yang tak harus selalu kuat.