Rabu, 18 Juni 2025

Peran Tanpa Tanya

Di balik kalimat anak pertama yang terdengar sederhana, tersembunyi peran sunyi yang tak pernah kupilih. Sejak kecil, aku diajari menjadi yang paling kuat, paling paham, dan paling bisa diandalkan, seolah tangisku harus lebih cepat kering dari adikku. Tak ada ruang untuk ragu, apalagi salah, semua langkah harus tampak pasti, meski dalam hati aku masih tersesat mencari arah. Kadang aku bertanya, sejak kapan cinta dalam keluarga berubah menjadi beban yang disamarkan sebagai bentuk harapan?

Aku lahir lebih dulu, tapi bukan berarti harus tahu segalanya. Harapan yang tak kupilih dipanggulkan di pundak, dengan gelar “panutan” yang tak sempat kutolak. Aku dijadikan contoh, dijadikan jalan, bahkan dijadikan titian harapan agar keluarga merasa cukup dan bahagia. Tapi tak ada yang tahu, aku mulai benci melihat tumpukan pelajaran yang sama sekali bukan hal yang kugemari. Hari-hariku penuh tuntutan, seolah gagal bukan hakku, seolah ingin menyerah adalah bentuk pengkhianatan.

Ya, semua keinginanku terpenuhi, makan cukup, sekolah bagus, pakaian rapi. Lantas, kenapa aku harus mengeluh akan takdirku? Bukankah mereka wajar menuntutku, karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhanku? Lagi-lagi, aku yang salah. Salah karena merasa lelah. Salah karena ingin memilih. Salah karena ingin jadi anak biasa yang tak harus selalu kuat.

Minggu, 08 Juni 2025

Sampai di Persimpangan itu.

Entah bagimu membekas atau tidak,
namun bagiku, hidup yang pernah sempat ditemani olehmu adalah bagian paling indah dari waktu yang pernah aku miliki. Ada harapan yang dulu tumbuh pelan-pelan di sela tawa dan cerita kita yang sederhana, tapi hangat. Aku masih ingat bagaimana segalanya terasa lebih ringan saat ada kamu. Seolah dunia tak lagi sesepi biasanya.

Kita pernah berjalan berdampingan, meski tanpa janji, menjadi rumah sementara satu sama lain meski tanpa tahu kapan akan runtuh. Dan ketika akhirnya semuanya perlahan menjauh, aku tidak bisa berpura-pura biasa saja. Ada kehilangan yang tak terlihat, tapi terasa. Ada ruang yang tiba-tiba kosong, yang dulu pernah kamu isi dengan kehadiranmu.

Mungkin memang tidak semua pertemuan ditakdirkan untuk menetap. Beberapa hadir hanya untuk mengajarkan arti cukup, dan bagaimana caranya melepaskan tanpa membenci. Kita berakhir bukan karena tak saling peduli,
tapi karena semesta tahu, kadang cinta pun tak cukup untuk membuat dua orang bertahan. Kita menjadi asing bukan karena kita ingin, tapi karena hidup memaksa kita untuk belajar merelakan, meski hati belum benar-benar siap. Aku senang pernah menemukanmu di kehidupan yang seluas ini. Satu dari milyaran kemungkinan. Satu dari sekian banyak cerita yang bisa terjadi, tapi ternyata sempat menjadi milikku walau sebentar.

Kamu adalah bukti bahwa tidak semua hal indah harus dimiliki selamanya. Dan itu tidak apa-apa. Meskipun akhirnya kita tidak berjalan berdampingan, meskipun langkahmu menjauh dari langkahku, aku tetap bersyukur pernah berjalan bersamamu, walau hanya sampai persimpangan itu. Hidup harus terus berjalan, kan? Mau tak mau, suka tak suka.
Aku dengan jalanku, dan kamu dengan jalanmu.

Mungkin suatu hari nanti kita akan saling mengenang dari kejauhan dalam diam, tanpa pesan, tanpa lagi berharap untuk kembali.
Hanya sekadar mengenang, bahwa kita pernah menjadi sesuatu. Dan itu sudah cukup.

Peran Tanpa Tanya

Di balik kalimat  anak pertama yang terdengar sederhana, tersembunyi peran sunyi yang tak pernah kupilih. Sejak kecil, aku diajari menjadi ...